Market

Dampak PPN Naik 12 Persen, Maunya Untung Malah Buntung


Untuk menjaga agar APBN tidak tekor besar, setoran pajak digenjot habis-habisan. Tahun depan, pajak pertambahan nilai (PPN) naik 12 persen agar duit Rp370 triliun masuk brangkas negara. Tapi risikonya berat bagi rakyat, khususnya kelas menengah.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, masyarakat kelas menengah yang paling ‘terpukul’ dengan penaikan PPN 12 persen pada 2024.

“Mereka sudah dihantam kenaikan harga pangan terutama beras, suku bunga tinggi, sulitnya cari pekerjaan, ke depan masih ditambah penyesuaian tarif PPN 12 persen,” papar Bhima, Jakarta, Senin (7/5/2024).

Otomatis, lanjut Bhima, daya beli kelas ini mengalami pelemahan yang luar biasa. Mereka bakal mengurangi belanja besar-besaran alias menerapkan pola hidup ‘ikat pinggang ketat’.

“Kita khawatirkan belanja masyarakat anjlok. Penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik atau skincare melambat. Sasaran PPN ini kan kelas menengah. Kami perkirakan, 35 persen konsumsi rumah tangga nasional kita bergantung dari konsumsi kelas menengah,” papar Alumni UGM dan Bradford, Inggris itu.

Bhima pun mengingatkan, penaikan PPN tidak serta merta mengerek penerimaan negara. Tahun ini, misalnya, PPN dikerek 11 persen, penerimaan pajak malah melempem. Mengalami penurunan 25,8 persen sepanjang Januari-Maret 2024.

“Begitu tarif PPN naik jadi 11 persen, penerimaan negara malah anjlok. Apalagi kalau PPN naik jadi 12 persen, perolehan pajak bisa lebih turun. Belum efek ke penerimaan pajak lainnya juga bisa terganggu,” kata Bhima.

Imbas ke pelaku usaha, menurut Bhima, tak kalah dahsyatnya. Mereka harus melakukan penyesuaian harga (naik) akibat penerapan PPN 12 persen. tentu saja berdampak kepada jebloknya omzet. “Akhirnya terjadi penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menurun. Bisa terjadi PHK di berbagai sektor.

Pandangan senada disampaikan Ekonom Universitas Airlangga (Unair), Prof Sri Herianingrum, ada risiko yang cukup serius dari kebijakan tersebut. Aktivitas ekonomi mikro semakin sepi. “Dampaknya terasa pada proses produksi karena ada tambahan biaya. Ini kemungkinan akan mengurangi profit perusahaan,” kata Prof Sri.

Suka atau tidak, kata dia, perekonomian Indonesia saat ini, sudah mengalami ketidakstabilan. Terutama dalam hal harga kebutuhan pokok yang naik secara signifikan. Jika PPN dikerek pada tahun depan, bisa dipastikan kondisi ekonomi masyarakat semakin tertekan. Terutama kelompok menengah ke bawah yang sudah terdampak kenaikan harga bahan pokok sebelumnya.

“Di mana terjadi kenaikan harga sejumlah barang kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng. Hal ini dapat memberi tekanan ekstra, terutama pada golongan menengah ke bawah yang akan merasakan dampaknya secara langsung,” ujarnya.

Selain itu, lanjut prof Sri, tingginya PPN akan berdampak kepada investasi. Para pelaku bisnis, terutama usaha kecil dan menengah, mengalami kenaikan biaya produksi. Hal ini mengurangi daya saing dan profitabilitas mereka. 

“Investasi pun berpotensi menurun karena adanya peningkatan biaya produksi dan penurunan permintaan atas barang dan jasa. Investor akan memilih negara lain,” ungkapnya.

 

Back to top button