Market

Tawaran Lahan IKN ke China, Walhi Kaltim Sebut Kian Gusur Lahan Adat

Tawaran Presiden Jokowi ke pengusaha China berupa 34 ribu hektare di lahan IKN kian menguatkan pengalihan fungsi hutan Kaltim yang sudah diubah 736.055 hektare menjadi hutan produksi. Hutan Kaltim saat ini sudah berkurang dengan disahkannya Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemprov Kaltim.

Padahal aktivis lingkungan di Kaltim sudah memprotes disahkannya revisi Perda RTRW Pemprov Kaltim untuk 2022-2042 akhir Maret lalu. Dalam revisi perda tersebut, hutan seluas 736.055 hektare yang terdiri dari 612.366 hektare atau 83,19 persen berupa pelepasan kawasan hutan, lalu 101.788 hektare atau 13,38 persen, mengalami penurunan status kawasan hutan. Setidaknya, hutan alam seluas 408.225 hektare akan terdegradasi.

Hasil temuan pemerhati lingkungan menunjukkan dari total lahan tersebut hanya 13 persen yang memberikan bantuan untuk masyarakat setempat. Sisanya, justru terbesar, untuk kepentingan korporasi.

“Tentu ancaman deforestasi baru, yang justru akan meluas di Kaltim. Selain yangg di dalam (proyek) IKN dengan merujuk delienasi Peda RTRW Kaltim,” kata Direktur Eksekutif WALHI Kaltim, Fathur Roziqin kepada inilah.com, Senin (31/7/2023).

Walaupun diakui, lahan yang ditawarkan Presiden Jokowi seluas 34 ribu hektare berada di area proyek IKN atau membuka lahan baru. Sebab dalam revisi Perda RTRW Kaltim lahan yang disuguhkan pemprov hanya 39 ribu hektare.

Namun dari temuan Walhi Kaltim ada 200 ribu hektare wilayah Kaltim masuk dalam lahan IKN. Dalam lahan seluas itu menarik 53 desa di 5 Kecamatan dari 2 Kabupaten masuk ke proyek pemerintah pusat tersebut.

“Kami belum peroleh konfirmasi detail lahan yg dimaksud Jokowi, namun klo mengacu delienasi tersebut maka tidak cuma angka yg disebut, bahkan 200ribu lebih wilayah Kaltim yg dicaplok jadi IKN adalah konflik baru dan manifes di masa depan. Setidaknya 53 desa di 5 Kecamatan dari 2 Kabupaten yg kami analisis justru akan mengahadapi konflik panjang dan ketidakpastian pengelolaan ruang,” ujarnya.

Aktivis peduli lingkungan ini, mengharapkan Presiden Jokowi membuktikan janjinya pada awal pemerintahan untuk menyelesaikan konflik pertanahan antara masyarakat adat dengan Kementerian Kehutanan. Potensi konflik tenuarial dan agraria bertambah lagi dengan adanya Kaltim yang masuk proyek IKN.

“Selesaikan konfik Tenuarial, akui dan lindungi wilayah kelola rakyat lebih dahulu, terutama mereka yang telah puluhan tahun berkonflik dgn konsesi di dlm IKN sendiri bahkan,” jelasnya.

Proyek IKN selama ini telah menggusur beberapa desa dan kecamatan yang belum jelas penyelesaiannya. Bahkan proyek IKN sudah mengancam ekosistem Teluk Balikpapan. “Sudah pasti lahan yang di desa/kelurahan sekitar Sepaku, sebab tidak cuma rumah dan kebun warga yang akan tergusur, namun juga ancaman ekosistem Teluk Balikpapan,” tegasnya.

Padahal saat revisi Perda RTRW Kaltim 2022-2042 disahkan Pemprov Kaltim, Gabungan LSM lingkungan sudah melakukan audiensi ke Komisi IV DPR. Mereka memprotes pengalihan fungsi hutan alam seluas 736.055 hektare menjadi hutan produksi.

Di dalam lahan seluas itu, ada empat perusahaan yang diduga menikmati pelepasan dan penurunan status kawasan hutan.
Pada sektor tambang, ada empat perusahaan besar.

Yaitu Adaro seluas 58.000 hektare (35 persen), Bayan Resources (13 persen), BBE Mining seluas 8.543 hektare (5 persen), dan LX International seluas 4.200 hektare (3 persen). Sisanya seluas 47.898 hektare (29 persen), didapatkan 53 perusahaan pertambangan.

Selain itu, ada empat perusahaan kayu yang diduga menikmati pelepasan status kawasan hutan. Mereka adalah Sinarmas seluas 48.861 hektare (35 persen), Salim Group seluas 24.140 hektare (18 persen), BUMN seluas 8.529 hektare (6 persen), dan Harita seluas 8.248 hektare (6 persen).

Sementara sisanya 51.585 hektare (38 persen) didapatkan 15 perusahaan lain.Hasil temuan pemerhati lingkungan menunjukkan dari total lahan tersebut hanya 13 persen yang memberikan bantuan untuk masyarakat setempat. Namun status hutan tersebut sudah masuk dalam izin konsesi perusahaan pemegang HTI. Jadi berpotensi mengalami sengketa antara masyarakat dengan pemegang konsesi.

Back to top button