Market

Jangan Bangga Ekonomi Maluku dan Papua Tumbuh Dua Digit, Buya Anwar: Tak Ada Pemerataan


Kuartal I-2024, Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) mengumukan pertumbuhan ekonomi di Maluku dan Papua meroket hingga 12,15 persen. Dua kali pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,11 persen. Tapi jangan senang dulu.

Ketua bidang Ekonomi PP Muhammadiyah, Buya Anwar Abbas mengakui ada perkembangan baik dari perekonomian Maluku dan Papua. Padahal, perekonomian kedua provinsi itu hanya sekitar 2,09 persen pada kuartal I-2023.

“Untuk diketahui saja, pertumbuhan ekonomi yang sebesar itu di Papua dan Maluku didorong aktivitas pertambangan dan penggalian. Boleh dikatakan yang banyak mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dua digit di dua provinsi itu, adalah pengusaha tambang  dan penggalian. Sementara rakyat awam bisa dikatakan belum menikmati manfaatnya,” kata Buya Anwar, Jakarta, Rabu (8/5/2024).

Ketika berkunjung ke Maluku dan Papua, Buya Anwar mengaku tidak melihat melihat hasil nyata dari menjulangnya pertumbuhan ekonomi di sana. Untuk menguji kebenarannya, perlu diamati bagaimana perekonomian masyarakat di Maluku Utara dan Papua. Di mana, kedua propinsi tersebut masih termasuk provinsi termiskin di Indonesia.

“Hal ini tentu sangat tidak kita inginkan, apalagi kalau kita lihat dari perspektif amanat konstitusi. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, jelas-jelas menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Buya Anwar.

Pertanyaan kritis Buya Anwar, apakah pertumbuhan ekonomi dua digit di Maluku dan Papua. sudah memberikan kemakmuran maksimal untuk rakyat di sana?

“Rasanya apa yang terjadi masih jauh panggang dari api. Oleh karena itu, kita meminta kepada pemerintah agar tidak hanya memikirkan dan mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi saja. Tapi bagaimana menciptakan pemerataan ekonomi sampai ke rakyat kelas bawah,” ungkap Wakil Ketua Umum (Waketum) MUI itu.

Dia pun menyinggung banyaknya investasi smelter nikel asal Tiongkok yang pekerjanya bukanlah pribumi. Namun pekerja asal sang investor. Jumlahnya cukup banyak, sehingga angka pengangguran di daerah kaya sumber daya alam, masih cukup tinggi.

“Herannya pemerintah terkesan kurang berani ketika menghadapi para investor dari Tiongkok itu. Mungkin tujuannya agar mereka tidak lari dan terusik. Tapi, kalau kita biarkan, itu melanggar UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” ungkapnya.

Atau pasal 28D ayat 2 dalam UUD 1945 yang mengatakan, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

“Jadi pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah itu, terkesan belum sesuai dengan jiwa dan semangat dari konstitusi. Karena yang mengemuka adalah dimensi  pertumbuhan ekonominya saja, sementara dimensi pemerataannya terabaikan,” pungkasnya. 
 

Back to top button