Kanal

Imortalitas Judi Online: Pemberantasan Setengah Hati?


Segala cara, mulai dari mengenakan hukuman berat, menghapus situs, memblokade rekening, dll, telah dilakukan pemerintah untuk memberantas judi online yang terus saja berkembang. Ada kesalahan langkah?

Mengapa susah sungguh memberantas judi, terutama dalam bentuknya yang paling canggih kini, judi online? Barangkali, karena sebagian otak kita sejak awal pun sudah menyerah duluan. Judi adalah perilaku tua, mungkin seumur adanya manusia. Lebih hebat dari Rahwana yang bisa bangkit dari mati karena memiliki Aji Pancasona, judi tak hanya immortal. Di saat masih ‘hidup’ pun, judi bisa ‘bereinkarnasi’. 

Tanyakan kepada diri kita, ada berapa jenis judi? Variannya, kita tahu, ada sebanyak jumlah kemungkinan yang wujud di dunia. Toh, pada 1990-an, saat menunggu datangnya penumpang, para tukang becak di sebuah sudut jalan di Kota Bandung bertaruh dua nomor terakhir mobil-mobil yang datang. Kadang hanya menebak ganjil atau genap, sebelum pemenang menguras isi dompet temannya yang tipis jadi kerontang ludas. Bahkan, apa warna baju yang dikenakan Neng Geulis mahasiswi UNPAD yang kost di seberang jalan, saat keluar rumah untuk kuliah hari itu pun, bagi para tukang becak itu bisa jadi wahana tersendiri dalam mencuri rejeki.

Seperti juga sejarah pelacuran, tak ada yang tahu kapan judi mulai dikenal manusia. Meski mungkin telah dimainkan orang sejak zaman pra-sejarah, catatan pertama tentang perjudian datang dari budaya Cina kuno. Pada presentasi berjudul “Cultural History of Chinese Gambling“, yang dipaparkan dalam NAGS 27th Annual Conference, November 2017, disebutkan bahwa sejarah perjudian di Cina berusia lebih dari 4.000 tahun, artinya mulai tahun 2000-an SM. Perjudian itu dikaitkan dengan permainan pertama yang ada dalam catatan sejarah Cina, yakni permainan liubo. Awalnya, liubo adalah permainan kognitif, laiknya catur. Lama-lama, karena motivasi bermain berubah untuk uang, liubo pun jadi alat perjudian.

Catatan sejarah lainnya yang bisa ditelusuri tentang judi adalah kitab kumpulan biografi para kaisar Romawi, terutama dari Kaisar Hadrian ke Kaisar Numerian (antara 117 dan 284 Masehi), “Historia Augusta”. Di sana tercatat nama Lucius Aurelius Verus, yang menjadi kaisar bersama-sama Marcus Aurelius. Disebutkan bahwa kaisar kedua, Lucius, sangat menyukai permainan judi. 

Yang saat ini terkesan ironis, perilaku bak berjudi selama berabad-abad juga pernah menjadi cara untuk “menegakkan keadilan dan menunjukkan penjahat” di pengadilan banyak budaya dunia. Duel, yang kadang tak imbang, di Eropa kuno sering dipakai untuk menentukan “siapa yang benar”, dalam arti si mati adalah bajingan. Tahukah kata yang artinya “keadilan” dalam bahasa Yunani? “Dike”, dan kata itu berasal dari kata yang berarti “melempar”, dalam arti melempar dadu.

Sikap medioker

Mungkin karena saking tuanya judi dalam peradaban, tak jarang orang menyerah kalah sebelum benar-benar berupaya memberantas penyakit masyarakat ini. Tak hanya awam, tak jarang aparat pun dihingapi sikap “quitter”, mudah menyerah, menghadapi judi. 

post-cover
Kupon porkas yang sempat dilegalkan pada era 80-an (Foto: Tokopedia/Fedelweiss99).

Dan memang banyak “hujjah” yang bisa dipakai para aparat medioker untuk menutupi kemalasan mereka. Tengok saja pengalaman Indonesia di era stabilitas begitu ajeknya, masa pemerintahan mendiang Pak Harto. Pemerintahan Soeharto yang pada mulanya permisif pada perjudian di kota-kota besar karena mendatangkan banyak keuntungan buat pajak, berbalik haluan. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian, tak sekadar melarang perjudian, pemerintah Soeharto pun membersihkan tuntas semua lokasi judi. Sejumlah nama penjudi ulung (sering dengan manis disebut publik sebagai gambler), ditangkap dan dipenjarakan.  

Berhasilkah judi hilang dari Bumi Pertiwi? Seperti ilalang, perjudian punya banyak cara untuk tumbuh dan menjadi gulma kehidupan. Hanya bertahan lima tahun, pada 1986, dengan dalih untuk pembinaan olahraga, pemerintah pun meluncurkan kupon Porkas Sepakbola. Pengelolaannya diberikan kepada pengusaha Robby Sumampow, alias Robby Kethek, yang konon kroni Pak Harto. Sebelumnya, sebagai payung hukum, pemerintah melalui Departemen Sosial mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor BSS-10-12/1985 tanggal 10 Desember 1985, yang diteken Mensos Nani Soedarsono. 

Masyarakat Indonesia pun segera tergila-gila memasang Porkas, tak harus juga dilandasi niat membantu olahraga Indonesia. Di saat kontroversi mulai meruap seiring dampak negatifnya di masyarakat, Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Abdul Gafur Tengku Idris asal Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), menyatakan bahwa Porkas Sepakbola adalah permainan, bukan judi. Pemerintah juga punya alasan ngotot bahwa Porkas bukan judi. Judi selalu dikaitkan dengan angka, menurut pemerintah saat itu, sedangkan Porkas tidak.

Barangkali sebagai inovasi, pada 1987 Porkas bertransformasi menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB). Kupon KSOB dijual Rp 600 per lembar, dengan hadiah utama Rp 8 juta. Sukses besar! Dari Januari-Desember 1987, undian KSOB menyedot dana Masyarakat—kebanyakan Masyarakat kecil–sebesar Rp 221,2 miliar. Untunglah, pada pertengahan tahun 1988, Fraksi Karya Pembangunan (Golkar) dan Fraksi Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR RI menyatakan Porkas dan KSOB menimbulkan akibat negatif. Masyarakat miskin, termasuk di pelosok desa, telah dimiskinkan Porkas dan KSOB.

Namun usulan anasir pemerintah di DPR (Golkar) itu tak didengar.  Yang ada bahkan muncul bentuk baru kupon dengan nama yang lebih “manis”, Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB), berdasarkan keputusan Menteri Sosoal Nomor 21/BSS/XII/1988. Baru pada 24 September 1994, setelah gelombang protes yang dimulai oleh mahasiswa Bandung, terbit Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor BS-10-4/91 yang diteken Mensos Haryati Soebadio. Sejak saat itu, SDSB dihapus.

Judi Online di Era Borderless

Ada yang bilang, Porkas hingga SDSB yang mewabah itu relative lebih gampang dihentikan karena hidup dan matinya sepenuhnya bergantung kepada kebijakan pemerintah. Lha sekarang judi online? 

Di era yang disebut futurolog Jepang, Kenichi Ohmae, sebagai borderless world ini, judi online  memang tak gampang dilarang. Umumnya, situs-situs itu berlokasi di luar negeri. Hal itu tentu saja menambah peliknya persoalan. 

Untunglah, urusan tersebut tak lantas membuat aparat pemerintah langsung angkat tangan. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Budi Arie Setiadi, pemerintah tak pernah berhenti membasmi lingkaran setan judi online atau judol itu. Bekerja sama dengan banyal pihak, kata Budi Arie, Kementerian secara agresif membatasi ruang gerak pelaku judi daring, dengan menghapus (takedown) atas konten judi pada media sosial dan langsung memblokir situsnya.

post-cover
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi. (Foto: Inilah.com/Rizki).

Jumlahnya pun bukan main-main. “Hingga 17 September 2023, Kementerian telah men-takedown 971.285 konten dan situs judi daring,”kata Menteri Budi Arie. Kementerian Kominfo juga menemukan 1.931 rekening yang diduga terkait dengan judi ini. Kerja sama dengan pihak perbankan membuat telah diblokir 1.450 rekening dan 1.005 dompet elektronik.

 “Kami ingin membangun supaya suasana atau ekosistem judi daring tidak nyaman buat mereka. Biar saja mereka bikin lagi, kami tutup lagi,”ujar Budi Arie, pada 18 September 2023.

Sebagai mitra Kementerian Kominfo, Polri pun tak tinggal diam. Menurut  Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sepanjang 2022 Polri telah mengungkap 1.154 perkara terkait kasus judi online. Jumlah tersebut meningkat 575 perkara dibanding tahun 2021 yang tercatat 579 kasus. Sementara, per bulan September 2023, Wadir Tipidsiber Mabes Polri, Kombes Dani Kustoni,  mengatakan Kepolisian sudah menangani 77 kasus judi online dengan jumlah tersangka 130 orang.

Saat Inilah.com kembali menemui Budi Arie pada akhir April lalu, pemerintah malah tengah menyiapkan pembentukan satuan tugas (Satgas) pemberantas judi online. Satgas itu akan dipimpin Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto. Sebelum tekad pemerintah untuk membentuk Satgas itu muncul, Budi Arie mengaku pihaknya telah bekerja keras memmbasmi judi online. Kementerian Kominfo, kata dia, selama delapan bulan terahir telah menghapus konten judi online sebanyak 1,6 juta konten dari ruang digital Indonesia. 

 “Kita semua mau all out memberantas judi online. (Di) Kominfo (itu) di bawah Direktorat Pengendalian Ditjen Aptika, dukung ya!”kata Budi Arie, Selasa (29/4/2024) lalu, berpesan. 

Sementara Menko Polhukam Hadi Tjahjanto mengakui bahwa data yang dihimpun pihaknya menegaskan bahwa kondisi judi online ini semakin meresahkan. Di Masyarakat, tidak hanya orag dewasa yang telah terdampak, melainkan sudah menyentuh anak-anak di bangku Sekolah Dasar (SD). Hadi mengakui, tercatat adanya perputaran uang keluar masuk judi online pada tahun 2023, yang mencapai Rp 327 triliun.  “Bahkan pada triwulan I tahun 2024 ini saja telah tercatat Rp 100 triliun transaksi,”kata Hadi dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (23/4/2024) lalu. 

Perputaran uang di bisnis penyakit masyarakat itu memang tak main-main. Temuan PPATK menyebutkan, selama periode 2017-2022 ada perputaran dana senilai Rp190 triliun dalam 156 juta transaksi, dengan kenaikan rata-rata dua kali lipat setiap tahunnya. Secara lebih rinci, pada 2017 PPATK menemukan 250 ribu transaksi dengan nilai mencapai Rp2 triliun. Angka itu merangkak naik di tahun berikutnya menjadi 666 ribu transaksi dengan total nilai Rp3,9 triliun.

Pada 2019, tercatat ada 1,8 juta transaksi dengan total nilai Rp6,2 triliun. Bahkan pada 2020, saat pandemi COVID-19 mulai merebak, angka-angka itu ogah turun. Alih-alih turun, justru tercatat adanya 5,6 juta transaksi, dengan total nilai mencapai Rp15,7 triliun. Angka itu masih saja melonjak pada 2021,  yang mencapai 43,5 juta transaksi dengan nilai Rp57,9 triliun. Tahun berikutnya meningkat lagi dua kali lipat menjadi 104, 7 juta transaksi, dengan total nilai Rp190,2 triliun.

Hadi menambahkan, berdasarkan data PPAK, pada 2023 lalu tercatat ada 3,2 juta orang Indonesia bermain judi online, 80 persen di antaraya bermain di bawah nilai Rp100 ribu. Dari situlah didapatkan angka perputaran uang pada 2023, yang diduga berada di angka Rp 327 triliun.

Harus Dibasmi Tuntas

Dampak buruk judi online tak sekadar terkait dengan hilangnya nominal tertentu dari pelakunya. Yang lebih berbahaya justru pada sisi non-materi. Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Buya Anwar Abbas, benar ketika menyatakan bahwa kecanduan judi online tak hanya merugikan sisi finansial, yakni pelaku terdorong untuk terus berjudi hingga berutang atau menjual habis-habisan harta benda yang dimilikinya. “Kecanduan judi juga berdampak pada kesehatan fisik dan mental, yang dapat menurunkan kualitas hidup karena stres dan kecemasan tinggi, merusak hubungan sosial, terutama keluarga, hingga seringkali berakhir dengan perceraian,”kata Buya Abbas.

Karena itulah, MUI, kata Buya Abbas, mendesak pemerintah agar dengan segala cara dan daya bisa memberantas tuntas judi online. “Taruhannya masa depan bangsa dan generasinya,”kata Buya Abbas.  

post-cover
Wakil Ketua Umum MUI sekaligus Ekonom Muhammadiyah, Buya Anwar Abbas. (Foto: Antara). 

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menyatakan persetujuannya. Menurut Devie, judi online merupakan persoalan serius yang harus segera menjadi perhatian pemerintah untuk sesegera mungkin membasminya. Ia mencontohkan dampaknya yang buruk dengan menunjuk dua kasus. Pertama, perkara kriminal yang melibatkan pemuda di Situbondo,  yang mencuri sapi orang tuanya karena terlilit utang akibat judi online. Kedua kasus seorang petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) Kelurahan Mangga Dua Selatan, Jakarta, yang membuat laporan palsu. Ia membuat laporan polisi, mengaku  menjadi korban begal. Ia takut dimarahi istrinya,  lantaran uang THR sebesar Rp4,4 juta, dipakainya berjudi online. “Itu hanya dua dari ribuan kasus yang terjadi karena maraknya judi online,”kata dia. 

Ahli Psikologi Klinis dari Ruang Tumbuh, Indah Sulistyorini, menunjuk dampak individu dan sosial yang mengerikan akibat kecanduan judi online. Indah mengkhawatirkan bahwa sampai pada titik tertentu, otak pecandu judi online akan kehilangan atau setidaknya mengalami gangguan dalam executive function. Melubernya hormon dopamine akibat kecaduan judi online, menurutnya akan mengganggu kemampuan seseorang untuk bisa berpikir secara rasional. “Terutama bagian otak yang mengambil keputusan, misalnya, yang terdapat di depan, pre-frontal cortex. Bagian ini berfungsi sebagai executive function, mengambil tindakan-tindakan yang mestinya dipengaruhi oleh faktor pengasuhan dan pendidikan, nilai (value), moral,”kata Indah

Tentang hal tersebut, MedlinePlus menulis, judi online membawa dampak perjudian kompulsif, yakni gangguan kecemasan yang membuat penderitanya punya pikiran dan perilaku obsesif. Orang-orang dengan gangguan perjudian kompulsif, menurut MedlinePlus, mengalami kesulitan menahan atau mengendalikan dorongan untuk berjudi. Alhasil, perjudian kompulsif adalah perjudian patologis, yang American Psychiatric Association setidaknya memiliki gejala-gejala. Di antaranya, ia bisa melakukan kejahatan untuk mendapatkan uang untuk berjudi; gelisah atau mudah tersinggung ketika mencoba mengurangi atau berhenti berjudi; berjudi untuk menghindari masalah atau perasaan sedih atau cemas; berjudi dengan jumlah uang yang lebih besar untuk mencoba mengembalikan kerugian masa lalu; kehilangan pekerjaan, hubungan, pendidikan, atau peluang karier karena perjudian; berbohong tentang jumlah waktu atau uang yang dihabiskan untuk berjudi, dan sebagainya. 

Melihat dampaknya yang mengerikan, wajar bila penulis terkemuka Afrika Selatan, William Bolitho, tak pernah punya kesan baik tentang penjudi. “A Gambler is nothing but a man who makes his living out of false hope. Penjudi  tak ubahnya seseorang yang mencari nafkah dan menggantungkan hidup pada harapan palsu,”kata dia.

Karena itulah, menurut Devie, ada yang lebih penting dilakukan daripada sekadar menutup situs atau memblokir aplikasi judi online. Perlu ada peran kuat keluarga, juga negara dalam urusan ini. Di negara maju seperti Eropa, kata Devie, pemerintah setempat menyediakan bantuan psikolog bagi pecandu judi atau gim online. 

Hukuman—yang dalam UU 1/2023 Pasal 426 bisa kena pidana penjara paling lama sembilan tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar—barangkali efektif. Tetapi lebih kepada yang belum terkena. Bagi yang sudah kadung bermasalah, tampaknya usulan Devie harus benar-benar kita pikirkan. [dsy/vonita betalia/ Rizki Putra Aslendra]

Back to top button