Market

BI Gagal Bikin Rupiah Berotot, Jumlah Rakyat Miskin Berpeluang Naik


Meski Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan (BI 7 Day Reserve Repo Rate/BI 7DRRR) , nilai tukar rupiah tak kunjung menguat. Justru semakin nyungsep ke level Rp16.255 per dolar AS. Membuat beban hidup semakin berat.

Ekonom Universitas Airlangga (Unair), surabaya, Jawa Timur, Prof Rudi Purwono mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah berdampak kepada banyak hal. Namun, dirasakan paling berat bagi masyarakat adalah kenaikan harga barang.

Khususnya yang terkait dengan impor. Mulai dari harga bahan pangan yang langsung maupun tak langsung diimpor dari luar. Mulai dari minyak mentah yang memengaruhi subsidi BBM dalam APBN 2024. “Harga impor seperti minyak naik akan mempengaruhi kebijakan subsidi BBM. Jika subsidi tak ditingkatkan, harga BBM melonjak dan mendorong kenaikan biaya transportasi dan produk-produk yang menggunakan bahan bakar minyak lainnya,” kata Rudi, dikutip Senin (29/4/2024).

Kekhawatiran Rudi cukup masuk akal. Ketika harga minyak dunia di atas asumsi atau harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) yang dalam APBN 2024 dipatok 82 dolar AS per barel. Dampak memanasnya geopolitik membuat harga minyak terkerek mendekati 90 dolar AS per barel. Tepatnya 88,52 dolar per barel.

Sedangkan nilai tukar dalam APBN 2024 ditetapkan Rp15.000 per dolar AS. Sedangkan realisasinya secara year to date (ytd) atau tahun berjalan hingga Maret 2024, kurs mencapai Rp15.711 per dolar AS. Artinya, baik asumsi harga minyak maupun kurs rupiah meleset semua.

Jika tak ingin anggaran jebol, pemerintah berpeluang menahan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Risikonya, harga BBM subsisi seperti Pertalite bakal naik manakala harga minyak dunia menyentuh 100 dolar AS per barel. Atau kurs rupiah semakin ‘ndelosor’ di atas Rp16.500 per dolar AS.

Selanjutnya, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair itu, mengkritisi dua masalah besar di negeri ini. Pertama, volume impor minyak Indonesia yang cukup gede. Kabarnya impor minyak mentah mencapai 554 ribu barel per hari, sedangkan impor BBM mencapai 500 ribu barel per hari. Totalnya menjadi 1,054 juta barel per hari.  

Kedua, lanjutnya, biaya bahan baku meningkat ketika terjadi pelemahan rupiah. Karena banyaknya industri dalam negeri yang masih impor bahan baku.

“Ini menyebabkan biaya produksi meningkat. Yang pada akhirnya dapat menyebabkan kenaikan harga secara umum di pasar, yang dikenal sebagai inflasi. Dengan demikian, kenaikan nilai dolar AS dapat memengaruhi inflasi dengan meningkatkan biaya impor, bahan baku, dan produksi,” paparnya.

Dalam kondisi ini, warga Indonesia berpenghasilan pas-pasan yang paling kena imbasnya. Ketika harga barang naik, sementara pendapatan tidak naik signifikan, mereka rentan turun kelas masuk kelompok duafa alias miskin.

Nasib industri pun tak kalah beratnya. Tak kuat menyangga bengkaknya biaya operasional karena semakin mahalnya bahan baku impor, industri harus mengurangi produksi. Apes lagi, mereka harus lakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Artinya, jumlah orang miskin bertambah. Tantangan berat bagi pemimpin berikutnya.

 

Back to top button