Kanal

Amicus Curiae: ‘Peluru’ Pamungkas Berujung Kandas?


Sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki babak akhir. Para pendukung dua kubu penggugat ramai-ramai meluncurkan manuver pamungkas, menaruh harap pada amicus curiae.

Amicus curiae, jadi buah bibir jelang MK memutus hasil sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pada Senin (22/4/2024). Biasanya, amicus curiae adalah organisasi atau individu yang memiliki kepentingan atau keahlian khusus dalam bidang hukum. Mereka yang mengajukan diri tentu tidak menjadi pihak dalam kasus tersebut, tetapi ingin memberikan pandangan atau argumen untuk membantu pengadilan dalam membuat keputusan yang tepat.

Setidaknya per Jumat (19/4/2024), MK sudah menerima sekitar 47 dokumen amicus curiae yang datang dari sejumlah kelompok berisikan nama-nama besar. Kebanyakan dari mereka merupakan pendukung pasangan nomor 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dan pasangan nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud Md.

Salah satu yang jadi sorotan, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, yang menyampaikan pandangannya dalam sepucuk surat, diantar langsung oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bersama Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat ke Gedung MK pada Selasa (16/4/2024).

Isinya, tentu saja tidak lain dan tak bukan soal tuduhan adanya kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam gelaran pilpres. “…Semoga ketuk palu Mahkamah Konstitusi bukan merupakan palu godam melainkan palu emas…” tulis Megawati di suratnya.

post-cover
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. (Foto: Antara/Dokumen Pribadi)

Langkah Megawati ini jadi angin segar khususnya bagi Ganjar, capres yang diusung PDIP. Besar harapan Ganjar, nama besar Megawati dapat mempengaruhi para pengadil konstitusi dalam memberi putusan nanti. “Dari kondisi MK yang selama ini jadi cacian, makian dan stempel-stempel yang kurang baik dengan putusan MKMK, rasanya inilah momentum untuk mengembalikan marwah MK,” ujarnya yang kemudian secara terpisah disambut baik oleh kontestan pilpres lainnya, Anies Baswedan.

Menebalkan isi surat Megawati, Anies menyebut era orde baru telah lahir kembali di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bagi Anies—dan juga Ganjar tentunya—pesta demokrasi 2024 hanya bersifat seremonial belaka karena siapa pemenangnya sudah diatur penguasa, rakyat disuap dengan bansos. Sebagaimana yang sering mereka berdua suarakan melalui tim hukumnya pada sebelum hingga akhir persidangan di MK. 

Sah-sah saja Anies atau Ganjar berlaku demikian, karena sebagai kontestan yang kalah tentu wajar bila berupaya keras ingin mengubah keadaan. Tapi yang perlu diingat, sidang PHPU adalah wadah mengadili hasil pemilu bukan proses pemilu, sebagaimana isi dalil-dalil permohonan selama persidangan berjalan.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU MK, menjelaskan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pasal 474 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, jika terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, maka dapat mengajukan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada MK. Sementara itu, Pasal 475 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa perselisihan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden dapat mengajukan keberatan kepada MK paling lambat 3 hari setelah penetapan hasil oleh KPU.

Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa MK hanya berwenang memutus sengketa hasil pemilu. Lembaga yang berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara.

post-cover
Suasana sidang PHPU pilpres di Gedung MK Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2024). (Foto: voi).

Kembali lagi ke amicus curiae. Mungkin Anies dan Ganjar berharap besar pada dokumen amicus curiae karena belajar dari pengalaman Bharada E (Richard Eliezer Pudihang Lumiu) dalam kasus pembunuhan Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo. Kala itu, sebanyak 122 cendekiawan menyerahkan dokumen amicus curiae ke PN Jakarta Selatan. Ujungnya, Bharada E dijatuhi vonis 1 tahun dan 6 bulan, jauh di bawah tuntutan jaksa 12 tahun penjara.

Perubahan drastis pada putusan seperti ini yang diharapkan para penggugat di MK. Tapi nama besar dan posisi Megawati sebagai pemimpin partai pengusung salah satu capres justru bisa jadi batu sandungan, karena amicus curiae atau sahabat pengadilan semestinya tidak punya ikatan pada pihak-pihak yang sedang berperkara.

Amicus curiae itu suatu permohonan yang diajukan oleh pihak sebagai sahabat pengadilan, dan sahabat pengadilan itu mestinya bukan pihak di dalam perkara. Itu harus dicermati. Ibu Mega merupakan pihak dalam perkara ini, sehingga kalau itu yang terjadi menurut saya tidak tepat sebagai amicus curiae,” kata Wakil Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran Otto Hasibuan.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid menyatakan, pengajuan diri Megawati sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan di pengujung sidang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk intervensi peradilan. “Beberapa pihak mencoba untuk mengajukan diri sebagai amicus curiae di pengujung sidang, saat majelis hakim MK telah melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) adalah bentuk lain dari sikap intervensi pada lembaga peradilan MK,” ucapnya.

Ahli hukum lainnya, Herdiansyah Hamzah atau yang akrab disapa Castro menilai tak tepat bila Megawati mengajukan diri sebagai sahabat pengadilan. Dengan tegas akademisi Universitas Mulawarman ini menyatakan ada irisan kepentingan dari langkah Presiden ke-5 RI itu, dalam melayangkan amicus curiae. “Megawati itu kan pihak yang berperkara dalam PHPU ini. Dia punya irisan kepentingan langsung dengan perkara ini,” ujar Castro kepada Inilah.com.

post-cover
Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini. (Foto: Perludem)

Terlepas dari pro dan kontra, pakar kepemiluan Titi Anggraini menjelaskan, amicus curiae di PHPU merupakan fenomena baru meski hal itu sudah banyak terjadi di pengujian undang-undang yang ditangani MK. Misalnya, amicus curiae pada pengujian UU Perkawinan dan amicus curiae saat pengujian syarat usia bergulir di MK. Ia meminta fenomena ini dipandang dari sisi positif.  “Maraknya amicus curiae juga menjadi indikasi dari tingginya kepedulian publik atas penyelenggaraan Pemilu 2024,” tutur dia.

Tepat atau tidaknya keberadaan amicus curiae, biar para hakim MK yang memutuskan. Akan tetapi juru bicara MK Fajar Laksono mengungkapkan, sepanjang sejarah lembaganya berdiri, belum pernah menjadikan opini amicus curiae sebagai bahan pertimbangan perkara sengketa pemilu.

“Kemarin saya diskusi sama Pak Palguna, saya tanya waktu jadi hakim beliau, Ketua MKMK sekarang. Saya tanya amicus curiae pernah masuk di putusan? kata Pak Palguna ada tapi dalam pengujian undang-undang, walaupun tidak sepenuhnya,” ujar Fajar. 

Meski begitu, ia memastikan seluruh dokumen yang telah diterima akan dicermati oleh para hakim konstitusi. Fajar menyebut, dari seluruh dokumen yang telah diterima, hanya 14 saja yang akan dipelajari para hakim. Alasannya, puluhan dokumen lainnya baru diterima pihaknya setelah batas waktu yang ditentukan, setelah tanggal 16 April 2024.

Sebanyak 14 dokumen amicus curiae tersebut telah diserahkan kepada majelis hakim konstitusi yang menangani perkara sengketa pilpres. Akan tetapi, Fajar tidak bisa memastikan dipertimbangkan atau tidaknya amicus curiae tersebut. 
[Rez/Vonita/Syahidan/Reyhaanah/Diana].

Back to top button